Curi hati sang perusak hati

Menanti dewi yang selalu dinanti

Kadang asa tertahan emosi merasuk setelah bersapa

Aku tak akan menyerah

Mungkin ucap hanya menahan rasa, menjegalnya ataukah mengujinya

Tapi rasa ini ada ketika bertatap lara

Bercanda riang seakan luka lama tumbuh menjadi asa

Ingin diucap tapi hati menolak

Keangkuhan, kesombongan, kemunafikan datang terucap didepan mata

Seakan bangga dengan semuanya

Bangga berhasil meruntuhkan bangunan yang sedang dibangun

Namun,, benci memang selalu datang ketika semua terjadi

Hati gelisah jika mulut tak bekerja menyapa

Hati tergilas ketika sang dewi asik bergurau, tukar sapa dengan sang raga yang penuh kejantanan

Setelah itu hilanglah semua
Aku hanya bisa masuk kedalam perasaan mereka

selengkapnya

Sepasang jantan dan betina muda yang asik menjalani kisah asmara mereka yang penuh dengan kemesraan. Kisah asmara yang tercipta berkat kecanggihan tekhnologi di zaman sekarang. Minggu demi minggu dilewati, bulan demi bulan dilalui namun cinta mereka tak pernah surut ditelan bumi.

Karena sepasang jantan dan betina itu ingin menggapai tujuan dalam hidupnya untuk menjadi orang yang terpelajar dan berintelektual tinggi, akhirnya cinta mereka terpisahkan oleh jarak dan tempat. Semuanya tetap berjalan lancar seperti air mengalir, yang sedikit berbeda hanya pertemuan mereka yang terabaikan. Mereka harus menunggu 6 bulan sekali untuk bertatap muka sambil bercengkrama dan penuh kasih mesra. Walaupun zaaman sekarang semuanya bisa terselesaikan dengan tekhnologi. Namun, bagi mereka jika hanya sekedar menelpon dan memberikan pesan singkat lewat telepon genggam rasanya tak mengobati rasa rindu dalam dada yang membara penuh cinta. Alangkah lamanya si jantan menunggu 6 bulan itu.

Entah karena perputaran bumi atau ada yang menyutradarai ini semua. Sang betina mendapatkan tugas Praktek Kerja Lapangan di Cianjur. Tentu itu sangat disambut dengan penuh semangat yang menggeliat, merangkak ke rongga mulut, naik ke bibir si jantan dan terbukalah bibirnya dengan diiringi gerakan tangan yang tergoyang oleh semangat.

“Aa? Neng mulai minggu depan sudah mulai praktek di cianjur.” Ucap sang betina lewat pesan singkat

“Yang bener neng?” sang jantan pun membalasnya

“Ia Aa. Neng mah beneran!! orang tadi neng baru ngambil surat tugasnya.” Ucap sang betina meyakinkan sang jantan

“Oooohhhhhh gitu. Enak donk tar kita bisa sering-sering ketemuan dehhh.” Jawab sang jantan

“Yaiyalah Aa. Ini kesempatan yang sangat berharga buat kita kan neng kwangeeeen banget ma Aa, jadi kita bisa sesering mungkin ketemuan.” Ucap sang betina

“Aa juga kwangeeeeennnnn banget ma neng. Ya sudah nanti kita atur rencana buat ketemuan sekarang Aa mau berangkat kuliah dulu ya neng! Neng hati-hati di sana inget pesen Aa ya!!!” ucap sang betina.

“Ya sudah hati-hati ya Aa!! Jaga tuh matanya jangan sampe berkeliaran kemana-mana!! Neng juga mau mandi dulu.”

Karena matahari hampir berada tepat diantara kepala mereka, mereka pun menghentikan komunikasinya. Si jantan pergi menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta di Bogor. Sementara sang betina mencoba membasuh kulitnya dan membersihkannya dengan sabun mandi.

Mereka menyusun rencana untuk bertemu di sebuah Mall di kota Bogor seminggu setelah kepindahan sang betina ke tempat prakteknya di Cianjur. Peredaran waktu dirasakan sangat cepat 3 minggu telah terlewati dengan begitu singkat seperti cerita ini yang makin menyingkat. Mereka akan bertemu sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Mereka pun saling menyanggupi satu sama lainnya sesuai kesepakatan yang mereka buat.

Tiba saatnya hari yang membahagiakan. Sang jantan membuka matanya sebelum tepat waktunya untuk membuka mata karena sebelum bertemu dengan sang penjaga hatinya, sang jantan harus mengikuti jadwal perkuliahan dari pagi sampai setengah senja. Dia berkemas dan mempersiapkan segalanya dengan penuh kematangan. Sementara sang betina masih tetap santai berdiam diri sambil menunggu saatnya tiba untuk menemui sang jantan. Sang betina kebetulan pada waktu itu tak ada kegiatan yang akan menghambat pertemuannya itu.

“Neng? sekarang jadi kan ketemuannya? Aa sudah ada di kampu s sekarang ada jadwal sampai pukul 14.00. nanti sekitar pukul setengah 3 Aa akan pergi ke tempat yang sudah kita tentukan.” Tanya sang jantan lewat telepon

“Ia Aa… sekarang kita jadi ketemuannya. Ya sudah Aa kuliah dulu aja!! Neng berangkat dari sini sekitar pukul 12.00. nanti Aa sms neng aja kalau da nyampe sana”!! jawab sang betina

“Ya sudah nanti Aa kasih tau lagi kalau Aa dah nyampe sana. Sekarang Aa kuliah dulu ya. Neng hati-hati dijalannya ya”!! jawab sang jantan

Telepon dimatikan sang jantan mencoba menjelma menjadi sang pemuda intelek untuk beberapa jam ke depan. Waktu berjalan seperti kecepatan seorang Casey Stoner mengemudikan motor yang ditungganginya. Sementara suasana kelas tetap tak berubah, masih seperti biasanya penuh dengan canda dan keseriusan sesaat. Semuanya berhenti ketika bel yang tertanam diantara sela-sela pintu kelas berdering. Calon penerus bangsa pun berhamburan keluar kelas. Sementara si jantan langsung disibukan dengan sejenak perasaan yang mengebu-gebu memikirkan pertemuannya dengan sang betina yang penuh dengan daya pikat tinggi berkedok misteri. Sang jantan mencoba mengejar waktu untuk sampai di tempat yang telah dijanjikan. Setibanya di tempat tersebut sang jantan mencoba melihat ke kanan ke kiri mencari sang betina. Ternyata sang betina tak kunjung terlihat oleh kedua matanya. Sang jantan sesegera mungkin menghubungi sang betina.

“Neng? Aa sudah sampai di tempat ini. Neng sekarang ada dimana?”

“Sekarang neng ada di jalan. Neng baru nyampe Cisarua. Di sini hujan deras diiringi petir lagi. Aa tunggu dulu sebentar ya?”

“Ya sudah Aa tunggu di tempat biasa kita duduk ya. Neng hati-hati dijalan jangan sampai kehujanan!!”

Tak lama kabar di terima dari sang betina, suasana di tempat sang jantan pun berubah. Mendung menggelayuti tempat itu diiringi angin kencang menyerupai topan. Selanjutnya hujan pun turun disertai angin kencang tak lama kemudian petir mengikuti menghentakkan seluruh pengunjung yang berada di sana. Sang jantan yang menunggu sang betina diluar Mall itu sesaat terhentak melihat warung nasi dipinggir jalan ambruk terhempas oleh angin. Piring-piring ikut jadi korban. Sirine ambulance dibunyikan pertanda waspada dengan suasana seperti ini. Semua orang menggemakan takbir dihantui perasaan takut dengan semua itu.

Sang jantan mencoba berlari dan masuk ke Mall itu. Disenderkan seluruh tubuhnya ke tiang besar yang menyangga Mall itu. Sesekali sang jantan mencoba menghubungi sang betina. Ternyata sang betina baru sampai di Ciawi. Mendengar itu sang jantan semakin kalang kabut tak karuan, perasaan cemas bercampur ketakutan semakin menjalar ke seluruh benaknya. Detak jantung semakin tak terorganisir lagi mendengar bunyi petir yang menggema, menggaung, meneriakan kemarahan alam.

“Apakah tuhan tak mengijinkan pertemuan aku ini?”

Itulah ucap sang jantan dalam hatinya. Sejenak menghelakkan nafasnya dengan sedikit terpejamkan matanya ketika terbuka nampaklah seorang wanita cantik dengan rambut terurai basah, baju sedikit basah dan celana yang basah setengah lutut. Itulah yang selama ini ditunggu oleh sang jantan.

“Neng?” dengan senyum tersipu sang jantan menyapa

“Ia Aa. Aa kenapa kaya orang yang kebingungan dan ketakutan melihat neng?” jawab sang betina

“Neng kehujanan? Aa takut terjadi sesuatu sama neng. Makanya Aa kaget melihat neng tepat di depan Aa.” Sanggah sang jantan

“Ia neng kehujanan Aa. Neng kira disini gak ikut-ikutan ujan. Maaf ya neng telat?”

“Ia tidak apa-apa. Yang penting neng gak kenapa-napa.”

Sang jantan langsung mengusap seluruh tubuh sang betina yang basah oleh air hujan dengan handuk kuning yang sengaja dibawanya. Mereka kemudian melepas kangennya dengan makan bersama di sebuah tempat makanan cepat saji yang ada di Mall tersebut. Disana mereka bercengkrama dan menikmati pertemuan mereka . Perut sudah kenyang,

“Neng gimana kalau sekarang kita nonton yuk! Sekarang kan ada film baru.” Ajak sang jantan

“neng mah hayu aja. Kan kita sudah lama tidak nonton, lagian neng masih ingin melepas kangen dengan Aa.” Jawab sang betina

Dua pasang kaki dilangkahkan oleh mereka untuk meninggalkan tempat itu seiring gema adzan maghrib. Saking asiknya dengan pertemuan itu mereka sampai lupa waktu untuk bertemu dengan tuhannya. Seperti biasa di dalam bioskop mereka asik menonton film yang baru muncul dua hari yang lalu. Mereka asik bermesraan karena suasananya sangat mendukung. Lampu yang sengaja dimatikan untuk menambah kemesraan mereka. Dua jam dari gema adzan isya mereka keluar dari dalam bioskop. Sejenak di luar sana mereka bercengkrama

“Neng? Neng kangennya sudah terobatin belum” tanya sang jantan

“Ia Aa. mau bagaimana lagi atuh? Neng da keobatin ko kangennya walaupun dalam hati neng sebenarnya bukan seperti itu.”

“Ia neng nanti juga kita akan ketemu lagi. Kan sekarang mah deket, tidak seperti ketika neng masih di Bandung sana.”

“Sekarang kita pulang yuk!! udah malem tar ga enak ma teman-teman kostan neng.” Ajak sang jantan

Senyum dusta tersirat diantara dua bibir sang betina, entah dia masih ingin bersama dengan sang jantan yang baru bertemu lagi setelah hampir 7 bulan kisah asmara mereka melayang diantara jarak antara Bandung dan Bogor. Sementara sang jantan terus meyakinkan sang betina agar merasa puas dengan pertemuan itu dan mengajak sang betina untuk segera pulang karena hari sudah larut malam.

Dingin menyusup ke dalam tubuh mereka didalam sebuah angkutan Bogor-Cianjur. Sang betina dengan sigap membalurkan minyak angin ke dalam tubuh sang jantan karena tak mau pujaan hatinya sakit. Diiringi lagu semalam di cianjur semakin menambah kemesraan mereka. Bukit demi bukit dilewati, jalan gelap penuh dengan suara bising binatang malam, penghuni jalan yang menyorotkan lampu digenggaman tangannya telah terlewati. Pemadaman listrik menyambut mereka tiba di kostan sang betina. Jalan setapak dilewati gang kecil pun dilewati dengan kaki meraba diantara gelapnya malam. Dengan penuh semangat dan tiba-tiba sang betina memeluk erat sang jantan dan memojokkan sang jantan di sudut gang yang gelap sesekali mengkilap oleh cahaya petir.

“Neng sudahlah apa-apaan sih tar ada orang lewat kita malu lagi. Disini kan bukan kampung kita?”

Mendengarkan ucapan itu sang betina terpaksa melepaskan pelukkannya.

Sesampainya di pintu rumah kostan yang dibanjiri dengan sandal mungil milik teman-teman praktek sang betina. Mereka berpisah di sana sementara sang betina masih tak rela meninggalkan sang jantan. Tapi sang jantan tetap berpamitan dan terus meyakinkan sang betina.

Langkah kaki gontai karena lelah dilakukan sang jantan untuk meninggalkan kostan itu. Sesampainya di jalan raya sang jantan duduk manis sambil mengisap asap batang kertas berisi tembakau. Pagi buta telah dijumpainya lagi namun sang angkutan menuju Bogor tak kunjung tiba. Jalan raya terlihat kosong melompong hanya tukang rokok yang berada di seberang jalan sana. Karena kesal setelah 1 jam menunggu sang angkutan, sang jantan mencoba menghampiri tukang rokok itu.

“Punten kang? Kalau angkutan yang mau ke Bogor itu masih ada tidak?” tanya sang jantan

“Ia de? Kalau angkutan ke Bogor itu adanya nanti sekitar pukul setengah empat.” Jawab tukang rokok

Dengan muka terpana sang jantan menjawab “ohhh begitu ya. Terima kasih ya pa?”

“Ia de sama-sama” jawab tukang rokok

Tanpa permisi sang jantan mencoba meninggalkan tempat itu dan berjalan ke arah timur. Entah apa yang dicari sang jantan, dia tak tahu harus bagaimana lagi untuk sampai ke Bogor. Sementara jam baru menunjukkan pukul 1 lewat 15 menit. Sedangkan angkutan akan ada sekitar 2 jam lagi. Mungkin pertemuan ini tidak disesali tapi yang disesali adalah perjalan pulang sang jantan. Kira-kira 500 langkah dari tempat rokok itu, keringat tak lagi turun karena tersendat oleh dinginnya pagi. Di muka terlihat sebuah gerobak. Ternyata itu gerobak tukang bubur ayam. Seperti yang sudah diatur perut sang jantan terus berbunyi ehh ada tukang bubur ayam. Sesegeranya dihampiri,

“Mang? buburnya satu ya jangan pakai kacang!” ucap sang jantan

“Oia de.” Jawab tukang bubur

Bubur hangat beserta air hangat tersaji di atas meja yang penuh dengan titik embun pagi. Lima suap telah dimasukan kemudian dihentikannya seketika.

“ Mang? kalau angkutan yang ke Bogor masih lama ya?” tanya sang jantan

“Ia de sekarang saja baru jam setegah dua, ya sekitar dua jam lagi angkutan itu datang.” Jawab tukang bubur

“Memangnya ade mau kemana dan dari mana?” tanya tukang bubur

“Saya mau ke Bogor mang. Tadi saya habis mengantarkan teman saya ke dekat rumah sakit itu.” Jawab sang jantan

“Ohhhh..ade tenang saja biasanya jam 2 suka ada bus dari Bandung menuju Bogor ade naik itu saja, nanti turun di Ciawi!” sanggah tukang bubur

“Yang benar mang?” tanya sang jantan

“beneran de,, tungguin aja ya!! Ya sudah maf ya! bukannya saya tidak mau menemani ade tapi saya mau pulang.”

Dengan respon yang tinggi sang jantan segera membayarnya kemudian dia mencoba menenangkan pikirannya sesekali melamunkan nasibnya yang terlantar dikampung orang. Tukang bubur sudah tak ada, dengan sehelai handuk dan jaket yang melingkar di tubuh sang jantan mencoba menunggu bus yang tak kunjung datang. Kesal semakin menjalar seiring hawa dingin yang merasuk tubuh. Setengah jam sudah berlalu dari lamunannya. Sang jantan tetap saja duduk manis diantara tiang-tiang bambu yang beratapkan kain dari plastik.

Karena bosan dengan suasana di tempat itu, sang jantan beranjak menggerakkan kakinya. Dari kejauhan sudah terlihat seorang lelaki setengah baya membawa tas besar berdiri diantara portal-portal jalan yang membatasi lajur kiri dan kanan. Dihampirinya lelaki itu dan tanpa basa basi dengan sikap sok kenal sang jantan bertanya

“Pak mau pulang ke Bogor ya?”

“Bukan de saya mau pulang ke daerah sini gak jauh ko. Ade mau ke bogor” tanya lelaki itu

“Ia pak saya terjebak disini menunggu angkot masih lama. Menunggu bus tak kunjung ………

lelaki itu memotong pembicaraan sang jantan.

“Itu busnya de” sanggah lelaki itu

Ditolehkan matanya ke sebelah kanan, senyum bahagiapun tercipta melihat bus itu tiba. Ketika ingin mengucapkan terima kasih kepada sang lelaki itu, ternyata lelaki itu sudah tidak ada. Dia sudah menaiki angkutan yang membawanya tiba dirumahnya. Dilambaikan tangan sang jantan untuk memberhentikan bus itu, dan diangkatkan kakinya ke atas tangga bus itu. Ditempelkan matanya ke bangku bus itu dan dipejamkan matanya sesudah membayar tarif menuju Ciawi.

Didalam hatinya selalu berucap “akhirnya petualanganku berakhir juga”.

Kembali, didalam bus lagu semalam di cianjur mengiringi tidurnya hingga sampai di Ciawi. Di bukakan matanya ketika berada di lampu merah Ciawi, dan turunlah sang jantan dari bus itu kemudian dia naik angkutan yang membawanya sampai dirumah. Sesampainya dirumah, di kepalkan tangannya dan di benturkan ke pintu itu.

“asssalamualaikummmmm???? Ma? Mama?” ucap sang jantan

Tak lama berselang suara kunci, dibukakan pintu itu.

“Dari mana Aa, jam segini baru pulang?” tanya mama

Dengan sedikit berbohong karena tak mau dimarahin mamanya sang jantan pun menjawab “tadinya mau nginep dikostan temen, tapi banyak nyamuk akhirnya Aa memaksakan pulang.”

Tanpa sadar ternyata selangkah dari pintu itu terdengar gema adzan shubuh. Tanpa ragu sang jantan membasuh apa yang seharusnya dibersihkan untuk melaksanakan shalat shubuh. Setelah itu dipejamkan matanya berharap hari esok atau nanti tidak bertemu lagi dengan peristiwa seperti itu.

selengkapnya

Sebuah perjalanan membawa sang raga menyentuh, masuk ke dalam lingkungan yang ramah indah nan hijau penuh pagar alami berdaun. Aku bersama ragaku mencoba menembus suasana keindahan alam semesta yang berada di tengah-tengah kota. Ku langkahkan dua belah kakiku yang penuh semangat dan gairah karena telah lama tak ku temukan kesejukan, keindahan, dan keriuhan suara binatang kecil yang menyengat telinga. Tapi aku tak peduli, walau menyengat telinga lama-lama menyentuh hati yang hidup dari kealamian bumi. Inilah yang ku dambakan.

Kulihat di muka, sebuah pohon yang usianya melebihi usia kemerdekaan negara ini, masih kokoh berdiri menopang langit walau secara kasat mata terlihat tak menepi dilangit. Daun-daunnya masih segar melebar diantara ranting-ranting yang tumbuh di puncak pohon. Burung-burung menghinggapinya dengan penuh keseimbangan dan terlatih untuk hal yang dia lakukan semacam itu. Mulai dari dua ekor hingga sepuluh ekor berada di puncak pohon itu. Entah apa yang mereka bicarakan? Mungkin mereka sedang melihat dan membicarakan orang-orang yang berada di bawah tubuh mereka. Entah itu aku atau orang-orang di sekitarku, atau mungkin juga mereka sedang memantau laju angkutan kota yang terlihat seperti pasukan angkatan darat yang sedang berbaris. Seiring berhembus angin menggoyangkan ranting-ranting yang mereka hinggapi, mereka terbang dan berpisah mencari tempat untuk berdiam diri. Sementara itu satu ekor burung kulihat menghinggapi sebuah istana megah yang berada di tengah-tengah kebun yang luas penuh dengan pepohonan. Dia terlihat nyaman menghinggapi istana itu. Mungkin karena tak bergoyang ditiup angin.

Ku alihkan sejenak pandanganku ke sebuah danau, tepat berada disamping kanan sebuah Istana penguasa negara ini. Airnya tenang tak ada perang tak ada kegaduhan hanya tanaman yang tumbuh di atas danau itu yang sesekali bergerak. Namun sayang airnya tak lagi memancarkan kejernihan. Airnya menjadi sedikit kelam bercampur lumpur yang mengendap di dasar danau. Walau begitu orang-orang tetap nyaman duduk di bangku yang terbuat dari besi yang mengitari setiap sudut danau. Kulihat mereka tetap asik memandang danau sembari berpegangan dan bercengkrama dengan pasangan masing-masing. Asik bermesraan diantara riuhnya suara binatang dan indahnya suasana hijau di tengah-tengah kota. Tapi aku malas melihatnya karena mataku terasa sakit jika melihat hal seperti itu. Lebih baik ku berlari mencari kesenyapan dan kesunyian dengan dikelilingi pohon-pohon yang menjulang serta beralaskan rumput gajah yang tertanam dengan sendirinya.

Ku berteriak ketika ku sengaja meletakan tubuhku diatas rumput dan memandang langit yang cerah

“hey…..hey….woooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii aku bebas, aku nyaman, aku tenang, aku berada di syurga duniaku”. Begitulah teriakku.

Sejenak dalam hatiku bercengkrama dengan semua yang ada di sekelilingku

“hey kau sang hijau jangan pernah kau mati tetaplah berdiri walau usia tak muda lagi”.

“Jika ada yang memaksamu mati, timpahkanlah bagian rantingmu tepat di atas kepala mereka!”

“hey sang pemilik sayap rawatlah tempat singgahmu! Rawatlah dia,, hempaskanlah sayapmu jika orang-orang mencoba merusak tempat singgahmu!”

“Jangan pernah takut aku akan selalu menjagamu”.

Aku terbangun dari lelah dan curhatanku dengan alam di sekitarku ketika daun-daun kering menimpaku dan kulihat matahari akan meredup. Ku harus keluar dari lingkungan hijau dan harus meninggalkan mereka.

Beberapa meter menjauh dari tempatku bercengkrama dengan alam, kakiku terasa berat untuk melangkahkan lagi. Entah apa yang memaksa pandanganku untuk menoleh ke arah kananku. Air mata tercucur, amarahku memuncak, dan hatiku bergetar. Bajingan jantan dan betina terlihat asik bercumbu di balik pohon yang tumbang. Mereka asik dengan yang mereka lakukan. Aku tak rela melihat alam yang indah nan sunyi digunakan untuk hal semacam itu. Aku tak rela melihat pohon yang tergeletak dijadikan tempat persembunyian calon penghuni neraka. Mereka menikmati syurga dunia ini dengan perbuatan menyerupai binatang itu. Tak adakah sedikit rasa malu di benak mereka kepada pohon yang tergeletak disana, kepada pohon yang masih kokoh berdiri disana, kepada burung-burung yang singgah di ranting.

Sesegera ku hampiri mereka. Satu jengkal diantara mereka mataku semakin menangis nanah bercampur darah. Ternyata bukan hanya satu pasangan tetapi lebih dari lima pasangan yang berada dan melakukan hal keji itu di sana. Tanpa rasa malu mereka hanya memandang polos sembari tertawa tanpa secuil rasa malu. Dengan amarah yang tak tertahan lagi

“hey iblis-iblis calon penghuni neraka, tidakkah sedikit rasa malu diantara kalian kepada pohon-pohon yang masih tegap berdiri ini?”

“tak takutkah jika pohon-pohon ini marah lalu menimpamu karena melihat kalian melakukan seperti ini?”

“Tempat ini bukan tempat kalian, tempat kalian ada di gubuk-gubuk pinggir jalan sana!”

“Apa urusanmu sehingga kau seenaknya bicara, ini bukan punyamu ini punya umum apakah kau berhak melarangku?” jawab laknat itu

“Aku berhak melarangmu, tempat ini ciptaan tuhan. Harus dilestarikn jangan dibuat seperti neraka!” jawabku dengan kesal

“Akhhhhhhhhhhh…. Persetan dengan semua itu. Aku tak butuh dakwahmu aku butuh kenikmatan hidup” jawab mereka sambil nyengir

“Dasar bajingan,, mudah-mudahan ranting dan pohon menimpamu. Dasar bajingan.”

Jawabku dengan lemparan sebuah ranting pohon

Tanpa permisi mereka meninggalkan tempat ini, membubarkan posisinya dari keindahan sesaat yang telah mereka lakukan. Entah apa yang memberanikanku berkata seperti itu. Padahal aku hanya seorang yang tak mau usil dengan yang mereka lakukan. Mungkin karena ku tak mau alamku, kebun rayaku digunakan seperti itu.

“kawanku? Mereka telah pergi, mereka telah mengotori tempatmu”.

“sekarang kalian bisa menikmati malam tanpa rasa risih, tanpa rasa kesal dengan apa yang mereka lakukan”.

“Bila esok mereka datang lagi kesini dan melakukannya di tempat ini lagi, timpahkanlah ranting-rantingmu”.

Lemah jantungku, harus meninggalkan alamku dengan menyaksikan hal seperti itu.

“Baiklah kawan aku akan pulang, ingat pesanku jangan pernah takut! Timpahkan rantingmu”.

Ku berjalan meninggalkan tempat itu. Mungkin ini pengalaman terakhirku melihat semua kejadian seperti itu. Sedih terus menghinggapi hatiku dan air mata terus menggelayut dimataku tapi kucoba untuk tidak menitikannya karena hanya akan membuat mereka sedih. Sesampai di pintu keluar, ku tidak menaiki angkutan kota aku ingin berjalan untuk melepaskan kekesalanku.

Entah hari ini hari yang kurang beruntung bagiku atau apalah aku tak tahu. lima puluh langkah dari pintu keluar aku mencium bau air kencing dan bau kotoran manusia. Sangat menyengat dan menyengat menghancurkan hidungku, mengalir kemulutku hingga mual pun terasa.

Trotoar yang biasa digunakan untuk berjalan, sekarang digunakan untuk kencing dan buang air besar. Mungkin orang-orang yang berada di sekitar tempat ini tak mampu lagi membayar untuk masuk ke toilet yang hanya 1000 rupiah. Sampah-sampah kulit talas bekas mereka yang berjualan di sana “mengapa berserakan?”

“Mengapa sih!! mereka sulit untuk menanamkan rasa tanggung jawab?”

“Mengapa mereka hanya menamkan hak mereka saja dalam jiwannya tanpa memperhitungkan kewajiban yang harus mereka lakukan?”

“Mengapa juga pemerintah kota ini masih memberikan kesempatan kepada mereka untuk berjualan?”

“Inikan aset pemerintah kenapa harus menjadi aset bagi para pedagang yang tak mematuhi aturan?”

“Mengapa tak menertibkan mereka?”

“Aneh memang aneh harusnya semua ini dijaga dan dilestarikan oleh mereka tapi kenapa semuanya di obrak-abrik?”

“Haruskah aku berjuang sendiri?”

“Haruskah aku menjaga alamku sendirian tanpa ada yang mendukungku?”

selengkapnya

Cinta itu seperti kegigihan seseorang di akan niatnya

Cinta membutuhkan penawar racun penghalang

Tak peduli ilalang berduri menghalangi

Tak peduli rintihan orang-orang yang menjegal

Kau adalah harapan bagi wanita-wanita

Kau adalah pelindung wanita

Kau adalah atap sebagai penghalang hujan

Kau adalah besi yang tertancap sebagai tiang langit

Kata manis senyap itulah yang menyelimuti setiap hawa

Membekukan hati setiap sang betina

Melingkari semangat perjuangan mencari setiap wanita

Lalu membenturkannya pada satu sosok elok nan manja

Kata memang tak selalu menjadi tanda jadi

Nyatanya dibalik kata manis itu menancaplah sebuah pedang

Pedang dengan ujung yang mengkilat bak intan

Tajamnyapun melebihi sembilu

Untuk memudarkan lilin harapan yang menjelma dalam hati yang tulus

selengkapnya
Langganan: Postingan (Atom)