SEMUA MEMIKIRKAN BUNGA

Jangkrik?? Apakah yang harus kulakukan??
Ketika bunga malam tak menyapaku
Ketika kapas miliknya tak datang menghampiriku
Aku selalu gundah dengan gagah menciutkan roh dalam jiwa untuk merantau

Penghuni jalanan?? Apakah yang harus kulakukan?
Bunga malam tlah berubah menjadi bunga matahari
Ketika aku lihat wajahnya, aku ingin menyapanya
Namun bibir dan otak tlah kompak entah apa yang mereka rencanakan
Membuatku tak berdaya untuk berkaca dan bersapa dengannya

Berkaca dengannya bibir ini selalu terbuka dengan manis
Bersapa dengannya hati ini selalu merekah
Ketika kulihat sang pujaan Inginnya seperti itu
Tapi semuanya berbeda dengan keinginan



Jantung berhenti, nafas terhenti dan anginpun berhenti
Panas tak pernah pergi dihatiku yang ada hanya tingkah ini yang semakin berbeda
Sang bunga sendiri tanpa kumbang hati tenang
Sang bunga dihampiri kumbang dan bercengkrama
Hati ini benderang menjadi api yang melumpuhkan semua yang mengaktifkan tubuh

Padahal bunga tak terlalu indah, cantik, dan rupawan
Bunga hanya biasa saja tak seperti bunga yang berharga miliaran
Yang selalu ingin dimiliki semua orang

Bunga ini hanya bunga jalanan yang terpanggang matahari
Bunga yang sering terguyur hujan dari penjuru kota
Kesabaran bunga, semangat bunga, motivasi bunga, dan pancaran bunga
Itulah yang selalu ku puja dan ku damba menjadi cinta

selengkapnya

TIMUR TENGAH III


Aku hanya bisa tertegun
Aku hanya bisa tercengan melihat itu semua
Semuanya telah hangus penuh arang
Rumah, gedung, bahkan tubuh manusia tak berdosa ikut hangus

Ketika hitungan ketiga terucap
Puluhan roket yang turun dari besi berani yang disulap menjadi sesuatu yang canggih
Percikan-percikan api panas harus terasa dengan terpaksa
Getaran-getarannya mencoba mengalahkan hati
Letusannya telah membuat telinga ini tak mendengar
Itulah dahsyatnya senjatamu sang pengecut

Kepulan asap hitam beterbangan diantara cuaca yang menerawang
Mencoba menggumpal menjadi mendung diantara jutaan mata manusia
Manusia yang masih punya rasa dan hati
Memaksa mencucurkan air mata penuh dengan nanah
Nanah yang membuat sakit dibagian tubuh tak berdosa

Luka mereka adalah luka para penghuni bumi
Tangis mereka adalah ratapan para penghuni syurga
Jerit mereka membangunkan burung bangkai dari tidurnya
Burung yang akan segera berpesta untuk menyantap bangkai-bangkai suci

Tanah peninggalan Tuan Arafat tersiksa
Tak rela jika harus menjadi milik Tuan Ehud
Aku bersama jutaan umat muslim tak rela
Jangankan tanah nyawa saudara-saudarakupun tak ingin melayang ditangan iblis bermuka nabi

selengkapnya

ZIONIS KEMBALI BERAKSI

Genderang perang mulai terang
Seiring terdengar tiupan angin bulan perdamaian
Kekezaman zionis kembali memakan korban
Tujuh ratus nyawa melayang
Ribuan orang berlomba untuk sembuh

Letupan meriam menjerit ditanah palestin
Jeritan anak kecil menambah terngiangnya penderitaan
Rumah-rumah kini telah jadi puing-puing
Gedung-gedung telah menjadi keriting

Ini tak adil……………
Senjatamu sungguh canggih wahai zionis
Sementara kami hanya bisa menangis
Menangis karena teriris oleh kezamnya zionis




Ya allah kirimkanlah lagi burung ababilmu
Biarkanah burungmu membawa kerikil panas
Jadikanlah gaza sebagai kuburan bagi yahudi itu
Lemparkanlah batu kerikil seperti lemparan bom mereka
Tembakkanlah hingga menembus dada mereka yang penuh keangkuhan

Sementara sekutu kami hanya bisa membantu semampunya
Mereka terpaku oleh perkumpulan tertinggi dimuka bumi ini
Perkumpulan yang dihuni oleh pendukung yahudi
Mereka membiarkan bumi ini hangus
Mereka membiarkan tanah yang secuil ini di rampas

Diatas langit ke tujuh nyawa-nyawa yang menjadi tumbal menangis
Semoga tangisan mereka mengucur dan berubah membeku menjadi paku
Paku tajam yang akan hinggap dikepala sang penjajah
Yang menamcap hingga tembus ke dasar bumi ini

Jutaan tangan menengadah ditiap-tiap sudut di muka bumi
Milyaran doa dipanjatkan dengan hati tergetar
Trilyunan asa tertanam disetiap doa yang dipanjatkan
Trilyunan asa menyelinap di dalam luka saudara-saudara kita disana
Akankah berakhir dengan hasi imbang
Ataukah harus ada pemenang dengan darah dan nyawa sebagai sayarat

selengkapnya

SEMUT TERINJAK LAGI

Orang sekarang tak boleh sedikitpun mendapatkan kekuasaan
Merasa aku yang paling tinggi
Semuanya tidak pernah bertanya
Karena menurutnya tidak perlu bertanya dan tak takut kepada siapapun

Segala macam dimakan
Tak ada yang berani memarahinya takut dengan kekuasaan
Segalanya diambil tak ada yang berani nyerobot
Takut kalau nantinya malah diserobot

Orang kecil itu sukanya cuma nasi
Itupun hanya senin kamis walaupun hanya dengan buncis
Orang besar malah banyak yang tidak waras
Merasa besar merasa besar yang besar
Semua yang dimau hanya yang besar

Gunung, sungai, kebun, laut, sawah
Sampai-sampai keringat orangpun dimakan
Mumpung ada kesempatan mumpung kuat dengan jabatan




Orang sengsara walaupun hidup sengsara
Kalau harus maling pikir-pikir dulu
Tapi yang kaya yang segalanya ada
Semua mencuri uang negara tanpa dengan rasa

Yang kecil orang melarat masih banyak yang melakukan shalat
Mereka merinding hamper mati jika melakukan maksiat karena takut
Kenapa orang konglomerat banyak yang jadi bangsat
Moral bejat iman renghat yang besar konglomerat
Banyak yang menjadi bangsat

Yang banyak uang di bank mendadak membeli gudang
Banyak oknum haram jadah berpesta menimbun barang
Sembako….sembako kemanakah sembako
Sembako bingung terkapar diem digudang orang gila
Orang kecil seperti semut sebentar-sebentar keinjak

selengkapnya



Tiga orang hawa dengan usia bervariasi
Si kecil terlena dengan mata dan kehidupan yang tak normal
Si sedang terlena dengan kaki, rambut dan keadaan yang tersisir tak menentu
Si dewasa tersirat memamerkan celana dan kaki yang robek tak beralas

Dengan keadaan seperti itu mereka mencoba menjual suaranya
Dari bus ke bus ia datangi dengan suara yang lebih bagus suara kentut
Beberapa lembar amplop mereka siapkan untuk kotak imbalan
Lagu yang sedang up to date pun dinyanyikannya

Hanya dengan okulele dan suara kedua tangan yang sengaja diadukan
Mereka asik bernyanyi dan penuh penghayatan
Hingga suara dan musik tak sehati
Orang-orang hanya tertawa menyembunyikan rasa iba




Diambilnya oleh si kecil kotak imbalan yang telah dibagikan kepada penghuni bus
Dihitungnya di bangku belakang yang kosong melompong
Dibagikannya amplop itu satu banding lima belas
Dilihatnya amplop itu apakah berisi ataukah jadi risih

Inikah calon penerus bangsa????
Inikah sang pengganti nona kartini???
Yang dibiarkan terlantar dan diperas oleh tangan yang tak bertanggung jawab
Apakah ini keinginan mereka atau bukan???

selengkapnya




Muka rantau yang tak pernah hilang dibalik keadaan
Memaksa untuk mencoba menggapai mimpi
Walau tangan tak lagi mengepal
Meski kaki tak lagi bertulang

Namun apa yang ia inginkan pastilah harus tercapai
Sorak sorai gemericik liur disekitar
Mengalir tanpa permisi menghantam hati yang luka
Memandang remeh seorang yang tak akan pernah terbunuh oleh hal seperti itu





Bukti nyata akan segera datang dan menghentikan muncrat liur di sekitar
Bukti kegigihan akan segera hadir diantara kerasnya perjuangan
Semua akan tercengang dan terpana seperti patung pancoran
Semua akan mengangkat tangan dengan senyum terpaksa mengobati rasa malu di dada

Ia hanya mengelus dada dan terharu
Ia tak merasa membanggakan diri dengan keajaiban ini
Ia hanya bersyukur tuhan telah menggantikan setitik keringat asin nan bau
Dengan sejuta keringat harum nan segar mengalir yang tak membuat resah orang-orang disekitar

selengkapnya



Aku yang semakin menangis
Aku yang semakin bersedih
Mengapa negaraku seperti ini
Apakah ini karma atau kutukan

Rakyatku, saudaraku semakin terlena
Tapi kenapa ini terjadi
Yang kaya makin sibuk korupsi
Yang makin sibuk menutupi dirinya




Tapi yang miskin semakin terinjak
Ingin korupsi,, apa yang harus dikorupsi
Bayangan dosa dan rasa takut selalu menghadang

Teruslah berjuang KPK Ku
Selamaatkan bangsa ini dari bandit-bandit rakyat
Selamatkan bangsa ini dari tikus-tikus kantor yang semakin bebas berkeliaran
Selamatkan bangsa ini dari pencuri uang rakyat

selengkapnya


Orang sekarang tak boleh sedikitpun mendapatkan kekuasaan
Merasa aku yang paling tinggi
Semuanya tidak pernah bertanya
Karena menurutnya tidak perlu bertanya dan tak takut kepada siapapun

Segala macam dimakan
Tak ada yang berani memarahinya takut dengan kekuasaan
Segalanya diambil tak ada yang berani nyerobot
Takut kalau nantinya malah diserobot

Orang kecil itu sukanya cuma nasi
Itupun hanya senin kamis walaupun hanya dengan buncis
Orang besar malah banyak yang tidak waras
Merasa besar merasa besar yang besar
Semua yang dimau hanya yang besar




Gunung, sungai, kebun, laut, sawah
Sampai-sampai keringat orangpun dimakan
Mumpung ada kesempatan mumpung kuat dengan jabatan

Orang sengsara walaupun hidup sengsara
Kalau harus maling pikir-pikir dulu
Tapi yang kaya yang segalanya ada
Semua mencuri uang negara tanpa dengan rasa

Yang kecil orang melarat masih banyak yang melakukan shalat
Mereka merinding hamper mati jika melakukan maksiat karena takut
Kenapa orang konglomerat banyak yang jadi bangsat
Moral bejat iman renghat yang besar konglomerat
Banyak yang menjadi bangsat

Yang banyak uang di bank mendadak membeli gudang
Banyak oknum haram jadah berpesta menimbun barang
Sembako….sembako kemanakah sembako
Sembako bingung terkapar diem digudang orang gila
Orang kecil seperti semut sebentar-sebentar keinjak

selengkapnya



Harapan bukan sebatas pemikiran yang menempel sejenak diotak
Otak yang penuh luka menjelma
Tapi harapan adalah sebuah pemikiran yang menempel di saraf
Saraf yang tak pernah putus mengalirkan pemikiran
Harapan adalah tujuan yang menggelayut di dalam hati
Hati yang penuh spirit mencapai langit

Tanpa mengenal rasa tertahan oleh badai gurun gobi
Tetap berjalan diantara lantai kaktus yang menghunus
Tetap berlari walau kaki terpancung rantai iblis yahudi
Mengincar dengan mata meronta sejuta jurus




Rasulullah saja tetap perjuangkan harapan yang melekat diantara darah dan ludah
Perjuangkan tujuan diantara reinkarnasi embun dan racun
Perjuangkan kewajiban diantara lipan dan topan dajal
Semua hanya untuk mempercayakan kepercayaan pada umat

Kepercayaan tentang dinnul islam
Contohlah semua prilakunya dan perjuangannya
Tanamkan dan benamkanlah diantara senja dan malam
Tancapkanlah diantara pahala dan syurga

selengkapnya




Genderang perang mulai terang
Seiring terdengar tiupan angin bulan perdamaian
Kekezaman zionis kembali memakan korban
Tujuh ratus nyawa melayang
Ribuan orang berlomba untuk sembuh

Letupan meriam menjerit ditanah palestin
Jeritan anak kecil menambah terngiangnya penderitaan
Rumah-rumah kini telah jadi puing-puing
Gedung-gedung telah menjadi keriting

Ini tak adil……………
Senjatamu sungguh canggih wahai zionis
Sementara kami hanya bisa menangis
Menangis karena teriris oleh kezamnya zionis

Ya allah kirimkanlah lagi burung ababilmu
Biarkanah burungmu membawa kerikil panas
Jadikanlah gaza sebagai kuburan bagi yahudi itu
Lemparkanlah batu kerikil seperti lemparan bom mereka
Tembakkanlah hingga menembus dada mereka yang penuh keangkuhan

Sementara sekutu kami hanya bisa membantu semampunya
Mereka terpaku oleh perkumpulan tertinggi dimuka bumi ini
Perkumpulan yang dihuni oleh pendukung yahudi
Mereka membiarkan bumi ini hangus
Mereka membiarkan tanah yang secuil ini di rampas

Diatas langit ke tujuh nyawa-nyawa yang menjadi tumbal menangis
Semoga tangisan mereka mengucur dan berubah membeku menjadi paku
Paku tajam yang akan hinggap dikepala sang penjajah
Yang menamcap hingga tembus ke dasar bumi ini

Jutaan tangan menengadah ditiap-tiap sudut di muka bumi
Milyaran doa dipanjatkan dengan hati tergetar
Trilyunan asa tertanam disetiap doa yang dipanjatkan
Trilyunan asa menyelinap di dalam luka saudara-saudara kita disana
Akankah berakhir dengan hasi imbang
Ataukah harus ada pemenang dengan darah dan nyawa sebagai sayarat



ementara sekutu kami hanya bisa membantu semampunya
Mereka terpaku oleh perkumpulan tertinggi dimuka bumi ini
Perkumpulan yang dihuni oleh pendukung yahudi
Mereka membiarkan bumi ini hangus
Mereka membiarkan tanah yang secuil ini di rampas

Diatas langit ke tujuh nyawa-nyawa yang menjadi tumbal menangis
Semoga tangisan mereka mengucur dan berubah membeku menjadi paku
Paku tajam yang akan hinggap dikepala sang penjajah
Yang menamcap hingga tembus ke dasar bumi ini

Jutaan tangan menengadah ditiap-tiap sudut di muka bumi
Milyaran doa dipanjatkan dengan hati tergetar
Trilyunan asa tertanam disetiap doa yang dipanjatkan
Trilyunan asa menyelinap di dalam luka saudara-saudara kita disana
Akankah berakhir dengan hasi imbang
Ataukah harus ada pemenang dengan darah dan nyawa sebagai sayarat

selengkapnya



Semua telah berakhir dengan tangis
Semua berakhir dengan duka
Ketika kepala ini terkena percikan posfore
Ketika darah ini mengucur diantara tangisan bayi

Aku seperti seorang juara yang diapung-apungkan oleh orang tuaku
Diiringi dengan isak tangis dan kemarahan
Aku dibawa ke gudang suntikan dan obat-obatan
Dalam sakitku ku lihat ribuan kain kapan telah terjual



Stock barangnya kehabisan hanya sehari
Kain kapan yang putih bersih terlihat bercak merah penuh luka
Merah dari darah seorang anak mungil
Merah dari daging yang tersayat oleh api

Anak-anak terbujur kaku di ruang beku
Mereka tak ubahnya seperti boneka
Diangkat, diciumi, dan ditumpukkan seperti ikan asin yang menggelar

Rakyat kocar-kacir lari kesana kemari
Rakyat mampir ke dalam angan dalam bayang gema takbir
Semburan api dari ledakkan bak seperti pesta kembang api dimalam tahun baru
Mereka terpaksa tak mendengar untuk selamanya karena itu
Terpaksa tak akan pernah merasakan terangnya matahari
Menjalani hidup dengan kaki dengan ukuran yang jauh berbeda

Kini langit tak lagi mendung
Asap-asap tak lagi mengepul di ujung kepala
angin syurga telah dirasakan kembali membawa kepulan asap


selengkapnya

HARI INI???

Aku lelah hari ini
Aku risau hari ini
Niat mencapai suatu tujuan yang diinginkan semua orang
Harus kulalui dengan begitu ketir

Aku berdiri di atas lempengan-lempengan besi yang di las
Berdiri diantara himpitan bangku-bangku hitam yang manis tersenyum
Semanis orang-orang yang mendudukinya
Semanis warna roda empat yang gemerlap



Kaki ini selalu kuat menahan tulang-tulang yang lesu tanpa ragu
Besi ini selalu setia menjadi peganganku
Namun panas suasana tak seperti panas aspal di siang bolong
Keringat ini selalu tercucur menemaniku

Hingga mata ini tak sanggup lagi berkompromi
Setengah terbuka dan setengah terpejam
Sedikit anggukan dikala tak sadar tertutup, Sedikit uap keluar dari mulut ini
Sesampai di singgasana ku berpikir akan memejamkan dengan puas
Tanpa takut akan jatuh, tanpa takut akan runtuh

Hanya dengan basuhan air suci
Mata ini kembali terbuka lebar memandang langit yang setengah gelap bergelayut air hujan
Sulit terpejamkan walau sengaja dipejamkan
Sulit terbaring walau hati ini kering

selengkapnya

SEMUA MEMIKIRKAN BUNGA

Jangkrik?? Apakah yang harus kulakukan??
Ketika bunga malam tak menyapaku
Ketika kapas miliknya tak datang menghampiriku
Aku selalu gundah dengan gagah menciutkan roh dalam jiwa untuk merantau

Penghuni jalanan?? Apakah yang harus kulakukan?
Bunga malam tlah berubah menjadi bunga matahari
Ketika aku lihat wajahnya, aku ingin menyapanya
Namun bibir dan otak tlah kompak entah apa yang mereka rencanakan
Membuatku tak berdaya untuk berkaca dan bersapa dengannya




Berkaca dengannya bibir ini selalu terbuka dengan manis
Bersapa dengannya hati ini selalu merekah
Ketika kulihat sang pujaan Inginnya seperti itu
Tapi semuanya berbeda dengan keinginan

Jantung berhenti, nafas terhenti dan anginpun berhenti
Panas tak pernah pergi dihatiku yang ada hanya tingkah ini yang semakin berbeda
Sang bunga sendiri tanpa kumbang hati tenang
Sang bunga dihampiri kumbang dan bercengkrama
Hati ini benderang menjadi api yang melumpuhkan semua yang mengaktifkan tubuh

Padahal bunga tak terlalu indah, cantik, dan rupawan
Bunga hanya biasa saja tak seperti bunga yang berharga miliaran
Yang selalu ingin dimiliki semua orang

Bunga ini hanya bunga jalanan yang terpanggang matahari
Bunga yang sering terguyur hujan dari penjuru kota
Kesabaran bunga, semangat bunga, motivasi bunga, dan pancaran bunga
Itulah yang selalu ku puja dan ku damba menjadi cinta

selengkapnya

Hari yang penuh kesucian dintara bulan suci yang menatapkan wujudnya kepada umat manusia di muka bumi ini. Bulan yang suci ini kembali menghampiri keluarga yang penuh keharmonisan yang takkan bisa ditiru oleh keluarga-keluarga lainnya. Keluarga yang penuh dengan senyum ramah dan geliat semangat akan menjalani hidup ini. Keluarga yang dihuni oleh empat orang anak adam dan satu orang hawa yang mendampingi keempat adam tersebut.

Hari yang sunyi gelap telah tiba yang dihiasi oleh suara jangkrik dan binatang malam yang menggaung meriuhkan sunyinya malam. Beberapa ribu detik berjalan sampai anak ayam bersiul menandakan waktu pagi telah tiba menyerukan umat manusia untuk segera berserah diri dan membiasakan untuk menghadap tuhan di waktu yang tak biasa orang lakukan. Satu personil dari keluarga itu telah terbangun ketika dua jam berlalu dari suara anak ayam berciak. Dengan mata yang masih tertutup dan pikiran sudah melebar dan terbuka menikmati indahnya malam. Sesegera dia mencari sebuah saklar lampu kamar dan menekannya untuk menerangi kamar yang terbuat dari sebuah semen yang diaduk dengan pasir dipasang berdiri menyelimuti dari panas, hujan, dan ancaman debu yang bertebaran.

Karena bulan suci, ia harus membangunkan ibunya untuk menyiapkan hidangan sahur untuk dimakan bersama-sama.

“bu??? Bangun bu saatnya kita untuk menyiapkan hidangan sahur.” Jawab lelaki itu

“ia agung ibu sudah bangun dari tadi, semenjak anak ayam di pinggir rumah kita berkokok.” Jawab ibu

Dengan tangan lemas dan kaki serasa tak bertulang, Ibu memaksa melangkahkan kakinya dan mengajak seluruh tubuhnya untuk beraktifitas. Sesegeranya dilangkahkan kaki menuju kamar mandi yang terbuat dari belahan-belahan bambu kecil yang sengaja diposisikan berdiri dan ditancapkan sebuah besi tajam untuk menjadikan bambu-bambu tersebut kokoh menutupi kamar mandi tersebut. Dibasuhnya delapan bagian tubuh masing-masing tiga kali sebagai syarat untuk mnyucikan diri bertemu dan menghadap sang pencipta jagat raya ini. Begitupun dengan Agung yang terlebih dulu membasuh delapan anggota tubuh tersebut untuk menghadap sang pencipta.

Dengan gerakan tubuh yang terlihat rapi dan berurutan serta lantunan ayat-ayat suci alquran yang indah keluar dari mulut yang penuh ikhlas. Cukup dua rakaat saja mereka melakukannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Dilanjutkan dengan menengadahkan tangan dan kepala mendongak ke atas sembari tercucur air mata luka akan penyesalan setiap kegiatan yang telah dilakukan dalam mengisi hari-harinya.

“Ya Allah ampunilah tanganku ini, jika telah tergerakkan tanpa persetujuanmu, ampunilah mulutku ini, selama mengisi hari-hariku terlalu mengeluarkan ucapan yang membuat orang sakit hati, menggunjingkan orang. Ampunilah hidungku ini jika telah mencium bau yang tak boleh dicium olehku, ampunilah mataku ini jika di hari tadi aku telah melihat secara sengaja maupun tak sengaja apa yang tak boleh engkau lihat. Ampunilah keningku jika telah bersujud diantara tempat-tempat yang penuh murka dan penuh kemaksiatan. Ampunilah telingaku jika tak sengaja telingaku ini bekerja diluar jalurnya dan ampunilah kakiku ini jika aku tak mampu menahan gerak langkah kakiku untuk berjalan menuju tempat yang tak boleh ku singgahi.”

Begitulah isi petikan doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tersebut. Tak lama kemudian terdengarkan derap langkah lelaki paruh baya menuju tempat yang pertama disinggahi oleh Ibu dan Agung. Sang ayah menyusul mereka untuk berserah diri dan menghadapkan dirinya kepada sang pencipta langit dan bumi beserta isinya. Sang ayah asyik dengan dzikirnya sementara agung berlari menuju dapur alami untuk menyalakan api dalam kompor yang terbuat dari tanah liat yang sumber apinya bukan dari minyak tanah tetapi dari belahan kayu-kayu kecil yang diambil dari hutan dibelakang rumahnya. Dengan susah payah agung menyalakan api tersebut seperti di zaman purba dulu. Akan tetapi mereka bukannya tidak mau menggunakan kompor yang terbuat dari kaleng atau kompor gas sekalipun, mereka merasa dengan semua ini akan terasa nikmat, terasa kita semakin dekat dengan sang pencipta karena kealamian hidup di dunia ini.

Api sudah menyala, saatnya mereka memasak dan menyiapkan santapan sahur pada dini hari itu. Ibu menjadi pemimpin dalam menyiapkan hidangan sementara Agung hanya sebagai kenek untuk membantu Ibu agar tidak terlalu kecapean. Sang ayah sibuk dengan lantunan ayat alquran yang sudah mencapai Juz 16 setelah ia menyelesaikan dzikir dan doa-doa yang dipanjatkannya.

“Ibu-ibu, bapak-bapak waktu imsak tinggal tiga puluh menit lagi, bagi yang belum melaksanakan makan sahur sesegeralah untuk makan sahur!!”

Begitulah sebuah peringatan yang diucapkan oleh penjaga mesjid dari penjuru timur, selatan, utara, dan barat. Seiring dengan peringatan tersebut Ibu dan Agung telah selesai menyiapkan makanan dan menaruhnya di atas meja makan.

Terhenti sejenak lantunan ayat alquran dari ayah untuk melaksanakan makan sahur bersama-sama. Agung berlari ke kamar adik-adiknya, dipijitnya tombol saklar dan teranglah ruangan kamar itu.

“De.. de… de…??? Ayo bangun saatnya kita makan sahur!!” butuh empat kali ucapan tersebut keluar dari mulut Agung agar kedua adiknya terbangun dari mimpi yang tanpa Agung ketahui entah itu mimpi indah atau buruk. Kedua lelaki itu yang mempunyai jarak beda usia dengan agung hanya lima tahun dan delapan tahun, sesegera berlari untuk mencuci muka dan menghampiri hidangan itu.

Saatnya ayah menjadi pemimpin untuk membcakan doa sebelum makan dan membaca niat untuk menahan rasa lapar, hawa dahaga, dan hawa nafsu yang dimiliki oleh setiap manusia. Namun, raut muka tak sabar nampak terlihat dari muka si bontot diikuti dengan gerakan tubuh yang sangat lucu diantara kekhusukkan yang lainnya dalam membaca doa. Dua puluh menit berlalu seiring selesainya kegiatan mereka dalam menyantap makan itu. Masih ada waktu sepuluh menit untuk berisitirahat dan menurunkan makanan ke dalam perut. Hal itu dilakukan oleh mereka sembari mata menatap layar yang berukuran 15” yang menampilkan acara humor oleh pelawak yang sedang menanjak karirnya pada masa itu. Senyum dua senti ke kiri dan dua senti ke kanan beserta suara yang menggelitik telinga keluar dari mulut mereka. Akan tetapi Agung segera mengakhiri senyumnya untuk membersihkan setumpuk kotoran yang menghinggapi piring dan perabotan lainnya yang ikut andil dalam terciptanya hidangan tadi.

Adzan shubuh menggema di telinga ketika waktu imsak sudah lewat sekitar sepuluh menit. Terlihat si bontot yang tadi menebarkan senyum riang tertidur dengan pulas di hadapan layar Jepang tersebut. Namun, Agung tak melihat semua itu. Agung sibuk dengan kegiatannya mencuci piring dan perabotan itu.

“de… de…?? Bangun dulu sejenak!! Kita shalat shubuh berjamaah dulu setelah itu tidur lagi!” ucap sang ayah

Si bontot hanya meresponnya dengan membalikkan tubuhnya ke sebelah kiri.

“de…de..?? ayo bangun dulu!” hanya dua kali ucapan tersebut keluar dari mulut ayah berbeda dengan Agung. Agung tak berani membangunkan adik-adiknya dengan menggoyang-goyangkan kaki adiknya, tetapi ayah berani melakukan itu.

Keempat anggota keluarga telah bersiap di ruangan khusus untuk sembahyang tinggal menunggu Agung yang masih berwudhu di kamar mandi. Setelah berkumpul tibalah saatnya untuk berjamaah berserah diri kepada sang maha kuasa.

“aaamiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnn” teriak si bontot berbeda dengan yang lainnya. Dia menriakkan kata itu dengan penuh semangat dan sangat keras. Sejenak mengganggu kekhusukkan yang lainnya, akan tetapi mereka tak menghiraukannya karena mereka menyadari usia si bontot itu yang masih duduk di kelas satu SMP.

Si bontot kembali menyandarkan kepalanya di atas kumpulan kapuk yang dibungkus rapi dengan kain dan menjepit guling dengan kedua kakinya sampai terlelap kembali begitupun sebaliknya yang dilakukan oleh adik kedua Agung setelah selesai berjamaah. Sementara Agung, Ibu, dan Ayah masih berkutat dengan dzikir dan doa yang dilanjutkan dengan lantunan ayat suci alquran. Namun, Agung tidak melakukannya. Agung bergerak dan mengambil air ke dalam sebuah ember dan menaburkan sebuah deterjen kemudian mencelupkan sebuah kain bekas handuk yang tak terpakai lagi. Sambil menunggu deterjen itu larut dan teraduk bersama kain, dia mengambil sapu agar terlihat semakin rapih suasana rumahnya.

Ayah hanya sekitar dua puluh ayat saja melantunkan alquran karena harus sesegera mungkin bersiap-siap untuk pergi mleaksanakan sebuah kewajibannya sebagai seorang suami sekaligus pemimpin keluarga yang bertanggung jawab. Akan tetapi, ibu terus melantunkan ayat-ayat alquran. Suasana yang saat itu sangat sunyi berbeda dengan suasana pada bulan-bulan lainnya yang seharusnya sudah banyak orang berlalu-lalang untuk beraktifitas setelah melaksanakan kewajiban menghadap sang pencipta. Suasana yang sunyi menemani Agung membersihkan ruangan dalam dan ruangan luar rumahnya dengan menyapu dan mengepel lantai.

Fajar telah menjelang di ufuk timur, suara unggas semakin terdengar nyaring menunggu sang majikan membawakan makanan untuknya. Ibu tertidur di atas sajadah, mungkin karena kelelahan setelah menjadi pemimpin dalam menghidangkan makanan untuk sahur. Ayah pun telah berangkat meninggalkan rumah dan akan kembali ketika senja tiba. Sementara Agung telah menyelesaikan tugasnya sebagai pengganti ibunya sekaligus baktinya sebagai anak kepada orangtua.

Langkah gontai dengan mulut yang sedikit ditahan untuk menguap terlihat akan mengambil sebuah handuk yang tergantung di atas pintu. Namun, ketika tangannya akan meraih ujung handuk, terdengar dering telepon genggam yang disimpannya di dalam lemari. Diraihnya handuk kemudian dibukanya pesan yang masuk ke dalam telepon genggamnya.

“untuk jadwal mata kuliah hari rabu diundur sekarang pada pukul 08.00 WIB. Inilah pesan yang dikirm oleh dosen kepada saya.” Begitulah petikan pesan yang masuk ke dalam telepon genggam Agung yang dikirim oleh ketua kelasnya. Seperti orang yang menerima kabar akan terjadi musibah pada dirinya Agung lekas berlari menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai orang yang intelek. Waktu yang dibutuhkan oleh Agung untuk tiba di gudang ilmu itu kira-kira satu jam setengah. Sementara waktu pada saat itu hanya tersedia satu jam empat puluh lima menit. Agung harus pandai memanfaatkan waktu yang ada.

Dia telah siap dan rapi, sementara waktu tinggal tersisa tujuh puluh delapan menit lagi. Agung segera menghidupkan mesin beroda dua yang terbuat dari Jepang. Kecepatan tinggi harus ia lakukan seperti para pembalap liar yang berlomba-lomba mempertaruhkan dan memamerkan keunggulan roda duanya di malam hari.

Seperti biasa ketika gelisah mendera jiwa, ketakutan menghantam perasaan muncul kegelisahan dan ketakutan yang memaksa emosi semakin memuncak. Macet, itulah kata yang paling menjengkelkan bagi semua orang dan itu pulalah yang harus dihadapi Agung. Gelisah jiwa penuh luka yang dirasakan Agung. Diambil telepon genggam dari saku celana sebelah kiri

“asssalamualaikum? Dri, kamu sekarang ada dimana, sudah nyampe kampus belum?” tanya Agung kepada ketua kelasnya dengan tergesa-gesa dan penuh gelisah.

“waalaikumsalam. Saya masih ada di kostan. Saya baru mau berangkat ke kampus.” Jawab Andri di ketua kelas.

“bilangin ke dosennya kalau saya masuknya agak telat sekarang saya terkena macet, sementara waktu semakin berjalan.” Ucap Agung

Agung terdiam dan sesekali menjalankan kendaraannya sedikit demi sedikit. dia terpanggang matahari yang masih hangat selama dua puluh menit. Dia terpaksa harus menerima kenyataan ini karena kenyataan atau kejadian ini tidak mungkin dapat diatasi dan terjadi karena jam sekolah dan jam karyawan-karyawan pabrik masuk. Akhirnya setelah dua puluh menit, dia bisa menjalankan kendaraannya dengan lancar, tanpa mengendurkan tarikan gas kendaraannya, dia berlari diantara aspal panas yang dari kejauhan nampak terjadi fatamorgana sampai dia tiba di sebuah parkiran kendaraaan roda dua. Dia langsung menghentikan dan menyimpan kendaraannya dengan seenaknya karena parkirannya masih sepi dan ia harus segera masuk ke kelas.

Begitulah semangat yang diperlihatkan oleh seorang Agung yang tanpa mengenal lelah, menahan emosi, gelisah, yang berkecambuk di dalam dada yang penuh dengan bulu bak seorang penyanyi dari India. Pintu terlihat sudah berada setengah meter dari batang hidungnya.

“tok.. tok.. tok..? assalamualaikum.” Kepalan tangan Agung disentuhkan ke pintu dengan tenaga yang tersisa dan diikuti dengan gerak mulutnya.

Kemudian ia langsung membuka pintu itu. Setelah berkecambuk dengan emosi dan lelah tak dirasa, raut muka Agung terlihat semakin ditekuk, rambut semakin terlihat acak-acakan, dan muka memerah tajam. Seketika berubah muka Agung setelah melihat bangku-bangku kosong, papan tulis yang masih bersih, dan meja dosen yang tak tertumpuk oleh buku milik dosen. Tanpa banyak basa-basi ditekan nomor yang ada di telepon genggamnya.

“hallo, Dri kamu bagaimana sih katanya masuk jam delapan? Tetapi di kelas tak ada siapa-siapa padahal sekarang sudah pukul delapan lewat tiga puluh menit?” tanya Agung dengan bibir tergetar menahan emosi

“duh kasian deh lu tertipu.” Jawaban singkat dari Andri semkin menaikan darah kotor ke dalam otak Agung.

“lu kalau mau nipu jangan ke gua dong! Lu ga tau apa, jarak rumah gua ke kampus itu jauh. Dasar pecundang.” Seketika sikap Agung berubah dari biasanya dan mematikan telepon genggamnya.

Mungkin karena capai atau lupa bahwa hari ini tidak ada jadwal perkuliahan. Agung merasa seperti orang bodoh yang tertikam oleh pedang tumpul yang berkarat yang akan menimbulkkan infeksi pada luka jika tertancap di hati. Semangat melorot diantara emosi yang semakin memuncak. Dia kembali menuruni anak tangga menuju ke sebuah masjid untuk menyerahkan dan mengadu segala kejadian yang dia alami kepada yang menciptakannya. Doa dipanjatkannya setelah melaksanakan shalat ketika fajar mulai miring di timur dan semakin memanaskan bumi. Karena lelah dengan kejadian semua ini dia pun mencoba merebahkan kepalanya yang diganjal dengan tas hitam bervariasi dengan warna abu-abu di atas sajadah yang membentang menutupi seluruh lantai masjid.

Adzan menggema di tengah panas terik mentari memanggil semua umat islam untuk berhenti sejenak beristirahat dan menyucikan diri dan berserah kepada sang khalik. Itupula yang membangunkan Agung dari mimpi yang melepaskan kepenatan di dalam otak yang penuh luka. Dibukanya telepon genggam, ternyata tanpa terasa ada lima pesan singkat yang masuk ke dalam telepon genggam miliknya yang tak lain dan tak bukan adalah pesan dari si ketua kelas yang berisi permohonan maafnya atas kejadian tadi. Tapi Agung tak ingin membalasnya dan tak menghiraukannya. Dia segera melangkahkan kaki menuju tempat mengambil wudhu, ketika dia sedang membasuhkan bagian muka terdengar pengumuman dari penjaga masjid.

“bagi para jamaah masjid diharapkan agar menghemat air dan mengambil barang-barang berharga yang disimpan di tas dan menyimpannya di tempat yang aman.”

Sontak setelah mendengar kata-kata itu, Lelaki yang penuh semangat dan intelek dalam bidang pendidikan segera menyelesaikan berwudhu. Seperti orang yang sudah mengetahui akan terjadi sesuatu dengan dirinya, dia langsung menghampiri tasnya yang kala itu tak sempat ia titipkan di tempat penitipan barang di samping masjid itu. Tangan meraba ke dalam tas, tak terasa telepon genggam berada di dalam tas, matanya semakin membulat seperti bakso yang sewaktu-waktu bisa melompat dari tempatnya untuk melihat dan memastikan telepon genggam miliknya masih ada di dalam tas.

Entah perasaan apa yang dimiliki oleh Agung. Emosi yang sudah agak reda mungkin akan semakin menumpuk bahkan bisa jadi emosinya akan keluar tak sengaja dengan pelampiasan yang mungkin tak dapat diduga-duga. Setelah tertipu dengan ulah sang ketua kelas kini dia harus menghadapi rencana dan keajaiban hidup ketika telepon genggam yang dibelinya dengan susah payah harus raib di telan oleh tangan-tangan gaib nan iblis. Bajingan tangan yang terampil itu kini tak lagi mangkal di gerbong-gerbong atau di pasar. Mereka sudah berani memasuki tempat suci untuk dijadikan tempat maksiat. Entah tuhan akan menghukum apa? Tuhan pastinya akan sangat maraaaaaaahhhhh………. Maaaaaaraaaaaaaaaah……… dan pasti akan tersinggung tempatnya dijadikan sesuatu yang menjadikan iblis itu semakin pasti menghuni neraka.

Tapi perkiraan itu tidak terjadi berkat ketabahan Agung dan kesabarannya, ia hanya menyikapai semua ini dengan senyuman dan tetap menahan emosi semakin menumpuk di kepala. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Dia hanya ingin mengintrospeksi diri setelah kejadian itu, dari mulai di jalanan, di kelas, dan sampai masalah raibnya telepon genggam itu.

“ya allah ampunilah semua dosa-dosaku, aku yakin engkau memberikan semua cobaan itu untuk menguji kesabaranku dan engkau memberikan cobaan ini karena aku telah melakukan sesuatu yang tak engkau restui entah itu di waktu yang lampau atau kemarin-kemarin, karena dibalik bening mata air pasti ada air mata dibalik duka pasti ada bahagia. Ampunilah dosaku ya allah. Ya allah ampunilah dosa orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang sangat membuat orang lain terluka, ampunilah yang mengambil barang di tempat suci ini, berikanlah pintu taubat untuknya.”

Dengan bijak dan penuh kesabaran Agung hanya berdoa seperti itu setelah semua kejadian yang ia alami. Terenungkan hatinya menghadapi semua ini. Karena tak ada lagi hal yang harus ia lakukan ia kembali menuju rumahnya dengan penuh riang menutupi suasana hatinya.

“pak telepon genggam saya hilang di masjid kampus, ketika saya mau melaksanakan shalat dzuhur” ucap Agung sesampainya dirumah sambil membuka sepatu kepada sang ayah yang pulang lebih awal dari biasanya.

“sudah tidak aneh lagi Gung, sekarang para penjahat menyusup ke tempat-tempat yang dinggap orang-orang tak mungkin akan ada penjahat.” Itulah jawaban yang sangat singkat dan tak diduga oleh Agung. Dia menduga bahwa ia akan dimarahi oleh ayahnya karena kelakuannya yang teledor. Akan tetapi, semua dugaan Agung ternyata salah.

“ya sudah cepat kamu mandi setelah itu shalat ashar dan minta ampun sama Allah, dan semoga bapak dapat rezeki, nanti bapak belikan kamu telepon genggam yang baru.”

Jawaban itu semakin membuatnya merasa nyaman dan menguatkan keimanan dan kesabarannya dalam menjalani hidup ini. Jawaban itu pulalah yang membangkitkan semangatnya dalam mengarungi drama kehidupan ini. Mencoba melupakan semua kejadian dan semakin mengambil hikmah dari setiap cobaan yang Allah berikan serta semakin mendekatkan dirinya kepada Allah, tuhan yang telah menciptakannya kemuka bumi ini, dan Tuhan yang telah memberikan berjuta-juta nikmat.

selengkapnya
Langganan: Postingan (Atom)